Budaya Damai di Sekolah – Budaya Damai di Sekolah (Indonesia)

(Diposting ulang dari: Media Indonesia, 17 Januari 2022. Artikel asli dalam bahasa Indonesia.)

Budaya Damai di Sekolah

Oleh Dody Wibowo
Direktur Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Sukma

Menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan masih menjadi praktik yang umum ditemukan di masyarakat kita, misalnya kasus tawuran pelajar, pembunuhan, perusakan fasilitas umum, penjarahan saat demonstrasi, dan adu mulut dengan menggunakan kata-kata kasar dan tidak pantas. Penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan masalah sebenarnya tidak melekat pada diri manusia. Penggunaan kekerasan adalah hasil belajar, dan karena itu, manusia sebenarnya dapat belajar untuk memecahkan masalah dengan cara damai dan tanpa kekerasan.

Menciptakan masyarakat yang damai dapat dimulai dari sekolah. Sekolah sebagai miniatur masyarakat memiliki peluang untuk mengembangkan budaya damai yang dapat dihayati dan diterapkan oleh warga sekolah di dalam dan di luar sekolah. Budaya sekolah dapat diartikan sebagai kumpulan nilai, kepercayaan, kebiasaan, serta aturan tertulis dan tidak tertulis yang dibuat oleh manajemen sekolah untuk membentuk cara berpikir, bertindak, dan belajar warga sekolah (Wibowo, 2020). Sementara itu, budaya damai, menurut definisi yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi 243/1999, adalah budaya yang mencegah penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik, dan dibangun di atas pendidikan perdamaian, promosi pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan, rasa hormat. untuk hak asasi manusia, perayaan keragaman, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, dan partisipasi demokratis setiap manusia. Budaya sekolah damai kemudian merupakan seperangkat nilai, keyakinan, tindakan, serta aturan yang ditetapkan oleh manajemen sekolah untuk menjadi pedoman bagi warga sekolah agar menjadi individu yang menjunjung tinggi berbagai aspek perdamaian dalam setiap cara hidup. Jadi seperti apa budaya damai di sekolah?

Budaya 5S untuk perdamaian

Banyak lembaga pendidikan di Indonesia telah mengadopsi 5S sebagai budaya sekolah. 5S terdiri dari lima kata, yaitu senyum (memberi senyum kepada orang lain), sapa (memberi salam kepada orang lain), salam (artinya memberi salam juga kepada orang lain tetapi juga merupakan kata Arab yang berarti 'damai'), sopan (menghormati orang lain), dan santun (sabar dan tenang). Sayangnya, deskripsi detail arti setiap kata dalam 5S masih sulit ditemukan. Apakah tersenyum atau tersenyum berarti hanya tersenyum kepada orang lain dan sapa atau menyapa berarti hanya menyapa orang lain? Bisakah kita mengambil lima kata ini lebih jauh dan menghubungkannya dengan budaya damai? Jawabannya adalah mungkin.

Kata senyum dapat diartikan sebagai pengingat bagi warga sekolah untuk menjadikan sekolah sebagai lingkungan yang mendukung untuk belajar. Ketika warga sekolah berbagi senyuman, mereka menunjukkan kesungguhan dalam mendukung satu sama lain untuk belajar. Senyum mendorong kesempatan yang sama bagi warga sekolah untuk belajar sehingga tidak ada yang tertinggal. Jika ada siswa yang proses belajarnya lambat, guru dan temannya akan membantu dengan senyuman. Begitu pula bagi guru, rekan sejawat saling mendukung dan membantu memperlancar proses belajar mengajar karena mereka memahami bahwa mereka adalah satu tim dalam mendidik siswa.

Sapa atau sapaan mengingatkan warga sekolah untuk menjalin silaturahmi dan bersikap adil tanpa membedakan latar belakang dan identitas individu. Lingkungan sekolah digunakan untuk belajar tentang perbedaan, relasi kuasa, dan hal-hal lain yang penting untuk hidup dalam keragaman. Warga sekolah didorong untuk bergerak dari level terendah dalam menyikapi perbedaan, yaitu toleransi, ke level tertinggi, yaitu merayakan keberagaman.

Salam yang dalam bahasa Indonesia berarti sapaan tetapi juga dalam bahasa Arab berarti 'damai', mendorong warga sekolah untuk mempelajari nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan untuk perdamaian, mengamalkannya setiap hari, dan secara aktif berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang damai di dalam dan di luar sekolah. Salam tidak hanya sekedar memberi salam antar warga sekolah, namun bagaimana salam pembawa damai diwujudkan dalam berbagai elemen di sekolah, mulai dari aturan, kegiatan rutin, hingga sarana prasarana sekolah, yang dapat digunakan untuk mendorong budaya damai dan menghindari berbagai bentuk sapaan. kekerasan, baik langsung, struktural, maupun kultural.

Kata sopan atau hormat mengingatkan warga sekolah untuk saling berkomunikasi dengan hormat. Komunikasi antar siswa, serta warga sekolah lainnya, dianjurkan untuk menggunakan kata-kata yang baik untuk menghindari bullying. Keterampilan komunikasi yang efektif dan nir-kekerasan, serta keterampilan untuk berdialog, perlu menjadi keterampilan yang harus dimiliki oleh warga sekolah agar jika mereka berada dalam situasi konflik, mereka tahu bagaimana mengomunikasikan masalah mereka dengan baik tanpa harus menggunakan cara yang menyinggung. bahasa.

Terakhir, kata santun atau 'sabar dan tenang' mengingatkan warga sekolah untuk bersabar dan tenang dalam menghadapi berbagai situasi, terutama ketika muncul masalah. Warga sekolah didorong untuk tidak membuat penilaian instan tetapi memahami masalah secara komprehensif dan dari berbagai perspektif agar mampu menghasilkan solusi yang memuaskan bagi semua pihak. Sabar dan tenang juga mendorong warga sekolah untuk tidak menggunakan kekerasan fisik, psikis, atau verbal dalam menyelesaikan masalah.

Komitmen terhadap budaya damai

Budaya sekolah adalah jiwa dari sebuah sekolah. Sekolah yang menghayati nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan damai sebagai budaya sekolahnya akan membekali warga sekolah untuk menghadapi berbagai permasalahan dan konflik dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Anggota sekolah yang terbiasa dengan budaya damai akan memiliki berbagai keterampilan, seperti berpikir kritis, analisis masalah, resolusi konflik, dan pemecahan masalah secara kreatif. Keterampilan ini akan mencegah anggota sekolah menggunakan kekerasan untuk memecahkan masalah (Gruenert dan Whitaker 2015).

Untuk itu, sangat penting bagi sekolah untuk secara serius menjadikan budaya damai sebagai fondasi budaya sekolah. Manajemen sekolah hendaknya memperhatikan berbagai aspek lingkungan sekolah, mulai dari peraturan, kegiatan rutin, bahkan sarana prasarana sekolah, apakah semuanya dapat mendukung warga sekolah untuk menginternalisasi nilai-nilai perdamaian, pengetahuan, dan keterampilan. Misalnya, apakah penempatan kata-kata mutiara dari tokoh penting di dinding sekolah untuk mendukung budaya sekolah telah memperhatikan keterwakilan perempuan, atau contoh lain apakah siswa yang memiliki keterbatasan fisik memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon siswa. presiden dewan.

Budaya sekolah bukan sekedar slogan yang sering muncul di dinding sekolah dan nihil implementasinya. Sebaliknya, budaya sekolah merupakan komitmen dari manajemen sekolah dan warga sekolah yang menyadari bahwa budaya sekolah yang baik akan membentuk warga sekolah menjadi individu yang baik yang akan mampu berkontribusi pada transformasi budaya buruk di masyarakat. Selanjutnya, jika kita ingin mengubah budaya kekerasan di masyarakat, membentuk dan memperkuat budaya damai di sekolah harus menjadi salah satu upaya kita untuk mencapai transformasi.

Bergabunglah dengan Kampanye & bantu kami #SpreadPeaceEd!
Tolong kirimkan saya email:

Bergabunglah dengan diskusi ...

Gulir ke Atas